Kamis, 18 Agustus 2011

Pancasila pada Tahap Kebudayaan Indonesia Asli

ara ahli sejarah dan antropologi dapat memperlihatkan bahwa sebelum kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, berbagai suku bangsa Indonesia telah mengenal unsur-unsur pembentuk Pancasila. Nilai-nilai kehidupan yang dapat disebut sebagai embrio nilai-nilai Pancasila ternyata memang sudah nampak pada tahap perkembangan ini.
Jika kita melihat dari nilai yang terdapat pada sila I Pancasila, pada masa sebelum kebudayaan Hindu berpengaruh, orang Indonesia telah mengenal pengakuan dan pemujaan kepada sesuatu kekuatan yang mengatasi manusia dalam segala aspeknya. Dan hal tersebut bukan sekedar animisme. Misalnya, di Kalimantan. Orang mengenal sebutan Tuh sebagai bagian kepercayaan terhadap kekuatan yang mengatasi manusia, yang kemudian menurun menjadi Tuhan, dan kemudian menjadi Ketuhanan (M. Yamin). Selain itu di Jawa, orang mengenal sebutan Hyang Paring Gesang, sedangkan di Tapanuli mengenal sebutan Ompu Debata. Dengan kata lain, hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasrnya Indonesia telah berketuhanan sejak dahulu kala, dengan melalui berbagai cara. Misalnya, dengan mengenal pengakuan dan pemujaan kepada sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan yang mampu menjadi pegangan manusia. Setiap masyarakat pun memiliki sebutan dan ritual yang berbeda-beda.
Bila dilihat dari sila ke-II, rasa kemanusiaan ditunjukkan dengan kesediaan bangsa Indonesia untuk bergaul dengan berbagai orang dari negeri jauh, sehingga terbuka jalan untuk masuknya kebudayaan luar. Dari penelitian sejarah dapat diketahui bahwa pada zaman kuno hubungan antar bangsa sudah ada. Kebudayaan Hindu dapat dengan mudah masuk justru karena adanya sikap terbuka dari orang-orang Indonesia pada zaman dulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia Indonesia pada dasarnya telah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, khususnya dalam tahap perkembangan budaya Indonesia asli.
Pada masa awal peradaban di Indonesia manusia hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang kemudian disebut suku. Mereka hidup dalam kesatuan atau ikatan suku itu. Karena tanah masih luas dan cara hidup yang masih sederhana mereka lebih mudah berpindah-pindah. Ikatan dengan tanah tempat tinggal masih longgar. Walaupun mereka suka berpindah-pindah tempat, mereka tetap bersatu dengan kelompoknya yang ada. Dengan kata lain, mereka berpindah secara berkelompok. Nilai kesatuan tersebut merupakan unsur yang terkandung dalam Pancasila, sila ke III.
Dalam sila ke IV, terkandung nilai bahwa musyawarah dilakukan berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam hubungannya, penelitian dalam bidang antropologi menunjukkan bahwa ikatan suku dijiwai oleh semangat kekeluargaan yang besar, yang dalam bahasa asing disebut dengan istilah komunal (communal). Masyarakat suku menggunakan cara berunding, berembug atau bermusyawarah untuk menghadapi sesuatu persoalan. Masyarakat Lombok mengenal istilah begundem. Semangat kekeluargaan juga Nampak dalam pembangunan dengan istilah gotong royong atau mapalus (Manado). Dengan ini mereka melaksanakan kesatuan karya untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
Organisasi masyarakat, betapapun kecilnya, bertujuan untuk terwujudnya kesejahteraan bagi para warganya. Hak milik atas tanah yang bersifat komunal tidak terlepas dari tujuan diatas. Begitu juga pembuatan rumah- rumah besar untuk keluarga pasti dengan maksud untuk terwujudnya kesejahteraan bersama itu pula. Hal ini nampak dalam masyarakat Mentawai, Dayak, Toraja maupun Irian. Bahkan rumah- rumah keluarga Jawa dahulu besar- besar juga. Untuk menyelesaikan pekerjaan itu warga masyarakat bergotong royong.
Uraian di atas menunjukkan unsur-unsur asli yang nanti akan berkembang sejalan berkembangnya peradaban manusia Indonesia. Unsur- unsur ini sebenarnya bersifat universal, semua bangsa di dunia mengalami tahap- tahap yang demikian itu.

http://sendaljepitpewe.blogdetik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar